Reuni Terakhir

IMG_20180915_011531_830Jika mendengar kata reuni, pasti terbayang pertemuan dengan teman-teman lama dengan penuh kerinduan dan kesenangan. Tapi tidak dengan reuni yang kudatangi hari ini. Mungkin ini pengalaman pertama dan terakhirku datang ke rumahmu. Pagi ini, aku mengumpulkan kekuatan untuk datang ke pertemuan ini setelah semalaman perasaanku kacau. Aku hanya datang berdua, bersama seorang teman yang juga mengenalmu dalam kurun waktu yang sama. Berbaju gelap, kami berusaha mencari letak rumahmu. Kami yakin di rumah mana terdapat keramaian, di sana pasti rumahmu. Kami sampai tersasar cukup jauh. Kami disambut oleh seorang pria dan seorang wanita yang kami duga adalah kedua orang tuamu. Aku memberi senyum dan menyalami. Tampak jelas raut wajah ibumu, yang lelah, matanya sembab dan sangat sedih. Ayahmu, tampak polos namun berusaha menguatkan dirinya walau jelas sekali kudengar suaranya bergetar menyambut kami.

Kamu tahu, jauh sebelum hari ini tiba, aku pernah memikirkan apa yang kulakukan hari ini.

“Kenapa semua kabarnya bahagia? Apa rasanya kehilangan teman baik?”

“Diantara semua kabar bahagia ini, harusnya ada yang berduka, kan?”

Pikiran itu membawaku pada momentum yang kusaksikan hari ini. Saat pertama kali aku mendapatkan kabar tentangmu, aku pikir ini berita bohong. Mungkin namanya mirip. Atau mungkin ini bercanda. Aku tak menangis untuk sesuatu hal yang belum bisa kulihat sendiri. Sampai tadi, aku benar-benar sampai di rumahmu. Rumah teman yang kukenal sejak berseragam putih biru. Teman yang bisa diandalkan soal mata pelajaran yang paling kubenci. Teman yang kedewasaannya kukagumi. Teman yang kepribadiannya membuatku iri. Teman yang membuatku berani jujur, dewasa dan menyingkirkan ego. Dan teman yang membuatku jatuh hati sekaligus patah hati dan membantuku sembuh kembali.

Kami duduk ditemani ayahmu. Kamu tak tampak di sekitar rumah. Tempat pembaringanmu tertutup kain prada berkilau. Sembari menenangkan diriku untuk tidak menangis, kami mengobrol tentang keadaanmu. Kulihat lagi wajah sedih itu. Suara bergetar itu. Perasaan tak percaya itu. Seorang ayah yang membanggakan putra pertamanya. Seorang ayah yang bercerita tentang kedekatan anaknya dengan teman-teman semasa sekolahnya. Aku masih bisa tersenyum, tapi tak banyak berkata karena takut tak bisa menahan tangis. Setelah ayahmu, duduk seorang perempuan sebaya kami dan bertanya apakah kami temanmu semasa sekolah. Seperti tebakanku, dia istrimu. Dia bercerita bagaimana hari-hari sebelum kamu pergi. Kami tahu cerita yang sebenarnya. Dengan tegar dia bercerita kronologi pada hari sebelum kamu pergi. Namun, setegar-tegarnya wanita, ia pasti menangis. Lagi, kutahan tangisku agar tak membuatnya makin sedih.

Patah hatiku semakin dalam ketika melihat seorang anak laki-laki di depanku. Caranya tersenyum dan tertawa mengingatkanku padamu. Dia mirip kamu, anak laki-laki semata wayangmu. Aku melihatnya tertawa dan tersenyum. Nampaknya dia belum tahu kalau itu hari terakhirnya bisa melihatmu. Aku hanya tak bisa membayangkan jika aku seperti mereka. Perbincanganku dengan ayah mertuamu pun membuatku teringat lagi akan kenangan semasa sekolah. Akhirnya kita sampai ke reuni hari ini. Setelah terakhir kali bertemu saat kelulusan SMA, kita bertemu lagi hari ini. Aku yakin kamu tahu aku hadir. Aku yakin kamu melihat aku datang. Maaf ya, aku mengurungkan niatku melihat wajahmu untuk terakhir kalinya. Aku takut kalau kamu melihatku menangis. Sejak dulu kan aku tidak pernah menangis di depanmu. Aku juga taku jika nanti kamu ikut bersedih.

Aku baru ingat kapan terakhir kali berkomunikasi denganmu. Empat tahun lalu, saat aku bertanya tentang kabar pernikahanmu. Dan aku sudah menepati janji empat tahun lalu, datang ke rumahmu dan melihat anak laki-laki semata wayangmu. Tampan, dan aku yakin ia akan sepintar ayah dan ibunya. Senyumnya mirip sepertimu. Ia tampak baik-baik saja saat itu. aku hanya berpikir, bagaimana kelak menjelaskan padanya bahwa kamu pergi terlalu cepat, dengan cara yang tragis?

Sampai detik ini pun rasanya ini seperti mimpi. Kemarin datang ke rumahmu dan menyaksikan sendiri keramaian di rumahmu. Menyaksikan betapa keluargamu sangat bersedih atas kepergianmu. Mendengar cerita mereka, kukira perjuanganmu hampir berhasil. Aku tahu kamu selalu berusaha dan berjuang. Tapi, kami tak pernah tahu bebanmu selama ini, apa yang membawamu mengakhiri hidupmu lebih cepat. Hatiku benar-benar patah, menerima kenyataan bahwa sahabatku benar-benar pergi dan kami mengingat segala kebaikanmu semasa hidup.

Berkat kamu, reuni ini bukan lagi sekadar wacana. Kami bertemu kembali, sedikit menebar senyum dan bertanya kabar di sela rasa kehilangan kami. Hubungan yang lama terputus terjalin kembali berkat rasa yang sama, rasa kehilangan. Kami yang tak pernah saling berkabar, kini saling berbagi tentang kesan yang kamu tinggalkan pada masing-masing dari kami. Perbincangan yang membangkitkan kenangan semasa sekolah, kegembiraan, kesedihan, jatuh cinta, patah hati, kesetiaan, persahabatan, dan semua tingkah kita di masa muda terputar kembali di kepala. Jika memang dengan cara ini hidupmu harus berakhir, kami hanya bisa mengirimkan doa agar hidupmu nyaman di atas sana. Jika aku tahu kamu pergi lebih cepat, seharusnya aku bisa lebih sering bertanya kabar, atau sedikit menyemangatimu. Karena kamu tidak pernah menyemangatiku, tapi kamu selalu menyelipkan motivasi di setiap perbincangan kita di jam istirahat atau di jam pulang sekolah walau terkadang bagiku terdengar menyebalkan.

Jika aku tahu ini adalah reuni terakhir denganmu, harusnya kita simpan satu foto bersama sebagai kenang-kenangan. Harusnya lebih banyak mimpi-mimpi yang kita ceritakan bersama. Harusnya lebih banyak waktu yang kita luangkan untuk bercerita tentang kehidupan menjadi manusia dewasa. Dan seharusnya aku tak perlu menulis cerita ini dengan perasaan yang tak karuan. Sayangnya semua ini nyata, sayangnya kamu benar-benar pergi.

Selamat jalan ya, teman senasib seperjuangan. Teman sekaligus saingan di masa mudaku. Teman berdebat sekaligus pemberi solusi untukku. Teman sekaligus pria pertama yg kukagumi di masa puberku.

Selamat jalan, semoga kita bisa bertemu dan bersahabat lagi di kehidupan selanjutnya ya 🙂

Mei 2016

Published by peachflavoredsoju

Portfolio of my writing and doodles

Leave a comment